Beranda | Artikel
Membersihkan lalu Menghiasi
Selasa, 6 Juni 2017

Bismillah.

Para ulama memiliki sebuah ungkapan yang berfaidah. Ungkapan itu berbunyi ‘at-takhliyah qabla at-tahliyah’ artinya ‘membersihkan sebelum menghiasi’.

Hal semacam ini sering kita jumpai dalam al-Qur’an. Dimana Allah menafikan sesuatu yang buruk lalu mengikutinya dengan penetapan kesempurnaan. Misalnya dalam hal nama dan sifat Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura : 11)

Begitu pula ketika memuji al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah tidak menjadikan al-Qur’an itu mengandung kebengkokan, bahkan ia lurus…” (al-Kahfi : 1-2). Sebagaimana dalam ayat lainnya Allah memuji al-Qur’an itu tidak mengandung keraguan barang sedikit pun, kemudian Allah menetapkan kesempurnaan al-Qur’an sebagai petunjuk.

Ibarat sebuah gelas. Apabila kita ingin mengisi gelas itu dengan minuman yang nikmat maka haruslah kita bersihkan gelas itu terlebih dulu. Karena adanya kotoran di dalam gelas akan merusak kenikmatan dan kelezatan minuman tersebut. Tidak jauh dari itu dalam hal pendidikan dan pembinaan jiwa manusia. Kita harus membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang tercela kemudian setelah itu kita menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia. Begitu pula dalam hal tauhid, kita harus membersihkan kotoran syirik lalu mewarnai hidup ini dengan ibadah dan tauhid.

Dari sinilah kita mengetahui letak pentingnya penyucian jiwa di dalam proses dakwah dan tarbiyah Islam. Oleh sebab itu para ulama juga menekankan pentingnya tashfiyah/pemurnian di samping adanya tarbiyah/pembinaan. Tashfiyah bertujuan untuk membersihkan hati dari penyimpangan pemikiran dan penyimpangan keinginan. Dengan bahasa lain bersih dari fitnah syubhat dan syahwat. Adapun tarbiyah bertujuan untuk membentuk kepribadian dan karakter muslim yang unggul dan berbenteng ilmu dan keimanan. Para ulama mengatakan, bahwa orang tidaklah dikatakan rabbani kecuali setelah berilmu, beramal, dan mendakwahkannya. Selain itu orang yang rabbani membina manusia dengan ilmu-ilmu yang dasar sebelum ilmu yang besar.

Untuk bisa melakukan proses tashfiyah atau takhliyah ini maka al-Qur’an dan as-Sunnah serta pemahaman salafus shalih adalah timbangan dan sumbernya. Dengan demikian umat akan terjauhkan dari bentuk-bentuk penyimpangan dalam hal aqidah, akhlak, maupun metode penyucian jiwa. Ketika manusia berpaling dari petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah ini justru tujuan dari penyucian jiwa tidak akan tercapai. Betapa banyak orang yang melenceng dari kebenaran akibat mengikuti berbagai aliran dan pemahaman yang mengatasnamakan penyucian jiwa tetapi ternyata itu semua menjebak mereka dalam tipu daya Iblis dan jerat-jeratnya.

Penyucian jiwa ini pada ujungnya akan melahirkan profil hati yang bersih dari kesesatan dan penyimpangan pemahaman. Sebagaimana ditafsirkan oleh sebagian ulama salaf, bahwa hati yang bersih itu adalah yang bersih dari bid’ah dan tentram dengan sunnah. Hati yang mengenal Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul dan panutan baginya. Tumbuhlah dari hati semacam itu amal-amal salih dan ketaatan. Tumbuhlah dari hati semacam itu keikhlasan dan rasa malu kepada Allah. Hati yang tunduk kepada agama dan syari’at-Nya. Hati yang mengenali kebenaran dan mengamalkannya. Hati yang mengenali kebatilan dan menjauhinya. Hati seperti inilah yang bisa merasakan lezat dan manisnya iman. Hati seperti inilah yang bermanfaat pada hari harta dan keturunan tiada berguna.

Wallahul muwaffiq.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/membersihkan-lalu-menghiasi/